Budaya K3


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

K3 merupakan produk kebijakan yang digunakan oleh pemerintah dan pelaku usaha dalam mencegah terjadinya bahaya kecelakaan pada saat kerja dan mengurangi resiko kecelakan akibat kerja. Pemerintah dan pengusahan telah bersepakat untuk menjadikan K3 ini sebagai bagian dari budaya kerja di kantor dan pabrik sesuai dengan Keputusan Menaker Nomor Kep.463/MEN/1993 tentang budaya K3. Pelaksanaan K3 menjadi tanggung jawab semua pihak, semua pihak yang terkait berkewajiban berperan aktif sesuai fungsi dan kewenangannya dan menjadikan K3 sebagai bagian budaya kerja di setiap kegiatan, sehingga dapat mencegah kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Dalam pemahaman yang umum, K3 adalah segala upaya untuk mengendalikan risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Sasaran utama dari K3 ditujukan terhadap pekerja, dengan melakukan segala daya upaya berupa pencegahan, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan tenaga kerja, agar terhindar dari risiko buruk di dalam melakukan pekerjaan. Dengan memberikan perlindungan K3 dalam melakukan pekerjaannya, diharapkan pekerja dapat bekerja dengan aman, sehat dan produktif. Secara filosofis, K3 merupakan upaya dan pemikiran guna menjamin keutuhan dan kesempurnaan jasmani ataupun rohaniah manusia pada umumnya dan tenaga kerja pada khususnya serta hasil karya dan budaya manusia.

Secara keilmuan K3, didefinisikan sebagai ilmu dan penerapan teknologi tentang pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Dari aspek hukum K3 merupakan kumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Melalui peraturan yang jelas dan sanksi yang tegas, perlindungan K3 dapat ditegakkan, untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang K3. Bahkan di tingkat internasionalpun telah disepakati adanya konvensi-konvensi yang mengatur tentang K3 secara universal sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang dikeluarkan oleh organisasi dunia seperti ILO, WHO, maupun tingkat regional.

Banyak teori/model faktor pembentuk budaya K3, yang intinya tidak saja pendekatan manusia, tapi juga pendekatan sistem. Pendekatan manusia adalah fokusnya adalah manusia agar berubah perilaku, sikap, nilai, dan sebagainya baik dengan program intervensi pada individunya, kelompok, maupun keseluruhan organisasi. Sedangkan pendekatan sistem adalah fokusnya ke sistem, merubah sistem, memperbaiki sub sistem, pola interaksi antar sistem maupun sub sistem, dan yang terkait lainnya yang ada di organisasi baik mikro maupun makro (perusahaan, pemerintah daerah, sampai pada pemerintah pusat).

Budaya K3

Beberapa definisi ekspilisit dan implisit dari budaya keselamatan dan kesehatan kerja telah disebutkan dalam literatur. Definisi yang diberikan oleh Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations (ACSNI) tahun 1993 telah diadopsi oleh Health and Safety Executive dan dinilai paling “eksplisit” dalam buku Lee’s Process Safety Esential. Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja didefinisikan sebagai:

“Budaya K3 adalah sebuah produk dari nilai dalam individu dan kelompok, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk melakukan sesuatu, serta gaya dan profisiensi dari manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dari sebuah organisasi. “

Budaya K3 memiliki 4 ciri utama, yaitu:

  1. Adanya komitmen (Commitment) dari pimpinan perusahaan
    Tanpa komitmen ini maka percuma saja membuat program atau sistem K3, mungkin bisa dibuat, tapi hasilnya akan nihil atau semu. Peran dan komitmen pimpinan disini akan terlihat dari prioritas program atau aktivitas bisnis saat planning, untuk perusahaan yang berisiko tinggi biasanya menjadikan K3 sebagai nilai utama sehingga biasanya program atau aktivitas yang diprioritaskan berhubungan dengan K3. Komitmen pimpinan biasanya juga terlihat saat berperan menjadi sponsor program-program K3, saat menjadi sponsor investigasi kecelakaan kerja dan lain-lain.
  2. Adanya kesadaran (awareness) dari tiap pekerja
    • Tiap pekerja memiliki kewajiban untuk selalu menyadari bahwa bahaya selalu ada di tiap pekerjaan dan tiap pekerja juga harus mengetahui apa saja yang harus dilakukan untuk meminimalisir atau menghilangkan dampak dari bahaya tersebut.
    • Kesadaran pekerja biasanya diuji saat pekerja diharuskan memenuhi prosedur K3 saat bekerja seperti identifikasi bahaya, SOP, penggunaan alat pelindung diri, dan sebagainya.
    • Akan percuma jika perusahaan sudah mempunyai sistem manajemen K3 yang baik namun kesadaran dari pekerja terhadap K3 kurang.
    • Ada pendekatan apresiasi Award & Punishment terhadap pekerja yang baik dalam performa K3.
      *Banyak sekali insiden kerja yang akar penyebabnya adalah kesalahan manusia, apa betul? Saya tidak yakin karena kesalahan manusia biasanya berasal dari kelemahan sistem yang seharusnya jadi akar masalah.
  3. Adanya kepatuhan (compliance) yang dipersyaratkan oleh regulator
    Tiap negara termasuk Indonesia memiliki aturan-aturan mengenai K3 untuk menjamin rakyatnya selamat saat bekerja. Namun yang paling terpenting adalah aturan-aturan ini harus betul-betul ditegakan dan diterapkan, pemerintah harus selalu memonitor tiap perusahaan mengenai penerapan aturan ini dan memastikan perusahaan telah patuh terhadap aturan tersebut. Hal ini penting karena tidak sedikit perusahaan “nakal” yang tidak memprioritaskan K3 sebagai nilai utama dalam bisnis mereka.
  4. Adanya hasrat (passion) dari profesional di bidang K3
    • Perlunya peran profesional K3 di tiap perusahaan terutama yang bergelut di industri berisiko menengah atau tinggi atau memiliki banyak pekerja;
    • Profesional K3 yang biasanya ada di dalam departemen SHE atau HSE atau HES atau EHS ini mempunyai peran yang krusial dalam penerapan SMK3. Profesional K3 di berbagai level baik engineer, officer dsb;
    • Profesional K3 bergelut di bidang multidisipliner karena bidang pekerjaan yang dihadapi sangat luas mulai dari engineering, data analysis, kesehatan, medis, perilaku manusia, komunikasi training / kampanye K3 dan lain-lain;
    • Profesional K3 juga harus berinteraksi dengan berbagai level mulai dari level front runner untuk menerapkan program K3 dan level manajemen untuk mendapatkan dukungan atau support mengenai program K3 sehingga soft skill disini sangat diperlukan. Karena tantangan yang unik maka profesional K3 harus mempunyai hasrat atau passion yang tinggi terhadap K3.

Ketika 4 peran diatas sudah terpenuhi maka iklim yang ideal untuk menerapkan budaya K3 akan tercapai dan lingkungan kerja yang bebas insiden bukan tidak mungkin dapat tercipta.

Sumber: dari berbagai sumber.

Administrator

PT Serifikasi Kompetensi Mandiri
"Faster and Affordable"